Senin, 24 Januari 2011

:: Membangun Kembali Citra Positif Budaya Madura ::

Dipastikan berangkat dari keyakinan bahwa Budaya Madura sesungguhnya memang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang positif. Hanya saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku negatif sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotype tentang orang Madura, dan lahir citra yang tidak menguntungkan.
Nilai-nilai sosial sebuah budaya, menurut Latif Wiyata bersifat lokal dan kontekstual sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat pendukungnya. Sejalan dengan ini, seharusnya Budaya Madura mencerminkan karakteristik masyarakat yang religius, yang berkeadaban dan sederetan watak positip lainnya. Akan tetapi keluhuran nilai budaya tersebut pada sebagian Orang Madura tidak mengejawantah karena muncul sikap-sikap yang oleh orang lain dirasa tidak menyenangkan, seperti sikap serba sangar, mudah menggunakan senjata dalam menyelesaikan masalah, pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (Giring, 2004). Akibatnya, timbul citra negatif tentang orang Madura dan budayanya.
Orang yang tidak pernah ke Madura, memiliki gambaran yang kelam tentang Orang Madura. Rata-rata pejabat yang dipindah tugas ke Madura, berangkat dengan diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra Orang Madura yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah berada di Madura, ternyata hampir semuanya berubah 180 derajat pandangannya tentang Orang Madura. Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan bahwa Orang Madura ternyata santun, ramah, akrab dan hangat menerima tamu.
Citra negatif ini pula yang kemudian melahirkan sikap pada sebagian Orang Madura, utamanya kaum terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai Orang Madura, karena Madura identik dengan keterbelakangan atau kekasaran Keadaan ini harus diakhiri. Perlu dilakukan upaya untuk menunjukkan bahwa Orang Madura dan budayanya tidak sejelek yang diduga orang lain.
Upaya pertama adalah membangun citra positif. Membangun citra ini dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari Budaya Madura. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi yang cermat nilai-nilai sosial budaya yang positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur. Nilai-nilai tersebut bisa kita temukan dalam pelbagai parebhasan, saloka, bangsalan atau paparegan yang banyak memuat “bhabhurughan becce’”.
Nilai-nilai ini perlu dipilah menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah nilai-nilai yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Di antaranya adalah ungkapan-ungkapan : “Manossa coma dharma”. Ungkapan ini menunjukkan keyakinan akan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa. Selain itu, “Abhantal ombha’ asapo’ angen, abhantal syahadad asapo’ iman” Ungkapan ini menunjukkan berjalin kelindannya Budaya Madura dengan nilai-nilai agama Islam. Bahkan, penting dimasukkan “Bango’ jhuba’a e ada’ etembang jhubha’ e budi”.
Ini semua, ajaran yang bagus dalam manajemen perencanaan, yang mengisyaratkan perlunya disusun rencana yang cermat dalam setiap kegiatan, agar tidak mengalami kesulitan di kemudian hari karena salah perencanaan. Bandingkan dengan selogan: “Perencanaan memang mahal, akan tetapi akan lebih mahal lagi akibatnya apabila kita membangun tanpa rencana”. Misalnya, tercermin dalam “Asel ta’ adhina asal” yang mengingatkan kita untuk tidak lupa diri ketika menjadi orang yang sukses dan selalu ingat akan asal mula keberadaan diri.
Pun, “Lakona lakone, kennengnganna kennengnge” Bandingkan dengan “the right man on the right job”. “Pae’ jha’ dhuli palowa, manes jha’ dhuli kalodu’”. Ini juga nasehat agar kita tidak terburu-buru mengambil keputusan hanya berdasarkan fenomena. Kita harus mendalami akar permasalahan, baru diadakan analisis untuk kemudian menetapkan kebijakan. “Kar-karkar colpe’”, bisa dikembangkan untuk menumbuhkan sikap mau bekerja keras dan cerdas, apabila kita ingin menuai hasil yang bisa dinikmati.
Kelompok kedua adalah ajaran yang sementara ini penafsirannya cenderung mengarah kepada hal-hal yang acapkali menimbulkan ketakutan kepada pihak lain. Ajaran ini perlu kita beri redefinisi, atau reinterpretasi sebagaimana misalnya “Clurit Emas”nya Zawawi Imron. Clurit jangan lagi kita lihat semata-mata sebagai alat untuk mempertahankan diri atau menebas leher orang, akan tetapi bagaimana clurit ini kita maknai sebagai alat untuk “menebas ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan”. Ada beberapa ungkapan yang termasuk dalam kelompok ini, misalnya : “Etembhang pote mata, bhango’ pote tolang”. Ini kita berikan penafsiran baru menjadi ajaran untuk meneguhkan semangat berkompetisi. Kalau tidak ingin “pote mata”, kita harus memperbaiki diri, meningkatkan kapabilitas, sehingga tak perlu “pote tolang” Ungkapan itu perlu diubah menjadi “ta’ terro pote mata, ta’ parlo pote tolang” Bandingkan dengan “Hidup mulya atau mati syahid” (Isy kariman aw mutsy syahidan).
“Oreng jhujhur mate ngonjhur”, kita robah menjadi “oreng jhujhur mate pojhur”. “Oreng sabbhar nompa’ jikar”. Kedua ungkapan ini seolah-olah menggambarkan bahwa orang sabar atau orang jujur kondisinya kurang bersaing. Ungkapan ini perlu kita reposisi menjadi misalnya “oreng sabbhar nompa’ kapal ngabbher”. “Ola’ neng bato, odi”. Kalau semula ungkapan ini untuk menggambarkan sikap orang yang suka “narema papasten”, bisa kita beri semangat baru, bahwa perlu ada sikap ulet, tekun dan tabah untuk mempertahankan hidup.
Kelompok ketiga adalah ajaran yang kita tanamkan untuk menumbuhkan nilai-nilai baru yang positip yang sejalan dengan perkembangan zaman. Bandingkan dengan pepatah Inggris “Time is money” yang sesungguhnya bukan nilai budaya asli orang Inggris yang dimiliki sejak zaman dulu, melainkan ditumbuhkan sejak Inggris memasuki era industrialisasi. Agar masyarakat mau menghargai waktu, maka waktu dikaitkan dengan uang/profit.
Kita perhatikan beberapa ungkapan baru yang bisa kita tanamkan dan kembangkan, misalnya:
  • “Lamon terro amodel, kodhu amodal”
  • “Lamon terro penter, kodhu ajar komputer”
  • “Ta’ atane, ta’ atana’”, ini dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat mengembangkan kehidupan di bidang agriculture dan agribisnis
  • “Ta’ adhagang, ta’ adhaging”, dimaksudkan untuk mengembangkan semangat kewiraniagaan
  • “Kembhang malate kembhang bhabur, mandhar bhadha’a paste, terro daddhia haji mabrur”
Upaya selanjutnya, membangun citra ini perlu diikuti dengan perubahan perilaku dari sebagian “taretan dibhi’”. Untuk itu perlu dilakukan studi, perilaku apa yang tidak disukai oleh orang lain, serta perilaku apa yang disukai. Perilaku yang tidak disukai kita kurangi atau dieliminasi, sedang yang disukai kita kembangkan dan dijadikan modal dalam membangun citra.
Perubahan perilaku ini memang membutuhkan proses panjang, kesungguhan dan keserempakan (sinergi). Peningkatan pendidikan masyarakat adalah jawaban yang tepat untuk ini. Penanaman budi pekerti luhur sejak dini di kalangan anak-anak, mutlak diperlukan. Juga perlu keteladanan dari para tokoh utamanya Ulama/Kyai dan para pemimpin formal. Upaya ini perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan terencana, yang dimotori oleh mereka yang memiliki kesadaran tentang hal ini.
Upaya berikutnya adalah menanamkan dan menumbuhkan kecintaan dan kesetiaan orang madura kepada budayanya. Ini perlu agar budaya madura tidak pupus dalam satu-dua generasi. Jangan sampai terjadi baru pada generasi kedua saja Bahasa Madura sudah tidak dikenal; sopan santun, sikap andhap asor sudah menghilang.
Membangun citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh Orang Madura, sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi: “Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura”.

Jumat, 14 Januari 2011

:: Peranan Syaikhona Kholil ::

Bulan Rajab ini kita pasti mengenang NU yang didirikan 16 Rajab 1344 Hijriah, bertepatan 31 Januari 1926. Hampir kita lupa bahwa arsitek utama berdirinya NU adalah seorang ulama Madura, almarhum Syaikhona Kholil Bangkalan. Syaikhona Kholil merupakan guru para ulama NU angkatan pertama sejak Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sampai kyai As’ad Syamsul Arifin. Syaikhona Kholil merupakan arsitek puluhan pesantren besar di Jawa dan Madura. Nama harum dan pengajarannya menyebar sejak Lirboyo, Tebuireng, Krapyak, Tambakberas, Denanyar, Buntet, Sukorejo, Ploso, Lasem dan pesantren lainnya di nusantara. Syaikhona Kholil memiliki dua peranan besar di kancah keislaman Nusantara. Pertama, peranan keilmuan dan kedua peranan pendidikan politik.
Peranan besar Syaikhona Kholil yang pertama adalah meneruskan dan menjaga silsilah keilmuan tradisional dari rasulullah sampai kepada kita hari ini. Silsilah sendiri merupakan salah satu otentisitas keilmuan Islam, sebuah tradisi yang dianggap usang dalam keilmuan modern akademis. Muslim modernis tidak paham bahwa ilmu agama memerlukan mata rantai sebagai proses transmisi keilmuan dari ulama klasik sampai ulama dahulu. Dimana seorang murid harus mendapat “ijazah” silsilah ilmu dari guru atau mursyid diatasnya. Dalam tradisi sufisme, silsilah merupakan bagian penting selain Mursyid, Murid dan Talqin-Baiat. Ilmu hadits dan tasawuf para kyai NU pasti memiliki rantai silsilah keilmuan yang jika diurut akan sampai kepada sumber primer agama Islam yaitu Nabi Muhammad SAW. Syaikhona Kholil berperan besar menjaga survivalitas ilmu ini dengan menjadi penyambung ilmu hadits dan tasawuf milik Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Syekh Nawawi Al Bantani dan ulama lainnya. Ilmu yang didapat dari ulama-ulama kaliber internasional itulah yang kemudian diwariskan Syaikhona Kholil kepada seluruh muridnya dan menyebar ke seluruh Indonesia. Sulit dibayangkan, bagaimana seandainya tidak ada Syaikhona Kholil. Pasti kesahihan ilmu agama kaum muslim di Madura dan Nusantara akan mengalami missing link.

Ilmu kaum tradisional sejatinya tak ada bandingannya dengan ilmu Islam modern yang diajarkan di kampus-kampus. Contohnya, seorang ahli hadits terendah dalam keilmuan Islam yaitu Al Hafidz mensyaratkan penguasaan terhadap seratus ribu hadits termasuk sanad, rawi dan matan. Ini baru tingkatan terendah, padahal masih ada tingkatan lain diatasnya yaitu Al Hujjah (300 ribu hadits), Al Hakim (300 ribu-sejuta hadits) serta Imam (Sejuta hadits). Karenanya, ilmu kaum tradisional yang sering dituding kolot dan konservatif justru lebih kredibel daripada keilmuan Islam modern. Keilmuan modern paling tinggi seperti doktor hanya mensyaratkan lulus ujian disertasi dan bukan penguasaan terhadap ratusan ribu hadits. Seorang profesor haditspun hanya dituntut melakukan sejumlah riset dan bukan kerja keilmuan seperti ulama dahulu.Wajar, kalau kaum nahdliyyin tak pernah berpikir mengikuti pemikiran Islam kaum modernis karena di mata nahdliyyin, ilmu Islam modernis masih kalah jauh dengan ilmu ulama tradisional.

Peranan terbesar kedua Syaikhona Kholil adalah pendidikan politik Khawariqul Adah. Dalam tradisi sunni, khawariqul adah dimaknai sebagai perilaku aneh tak lazim yang biasanya dilakukan ulama sufi. Dalam tradisi Madura, perilaku khawariqul adah ini lazim disebut khelap. Politik khawariqul adah sendiri berorientasi pada dua hal yaitu maslahat di masa depan dan kontekstualitas. Politik ini rentan dengan kritik karena pelakunya pasti akan dituding tak konsisten, pragmatis, kooperatif. Karakter politik NU sebenarnya mengikuti karakter keulamaan Syaikhona Kholil yang sering menerapkan prinsip khawariqul adah yang kelihatan aneh.

Namun, bukan berarti khawariqul adah hanyalah melulu berdasar persepsi-persepsi mistis semata. Lebih daripada itu, justru terdapat unsur penting lainnya yaitu penggunaan ushul fikih. Dalam bersikap NU pasti menggunakan kombinasi antara ushul fikih dan kekuatan tasawuf kyai-kyai sepuh. Penglihatan batin kyai khos dikomparasikan dengan kekuatan nalar fikih sekaligus analisa sosial-politik cendekiawan-cendekiawan NU. Maka, kita akan melihat bahwa keanehan yang dilakukan NU justru terasa benar di kemudian hari.

Pada tahun 1935, NU menyatakan bahwa Indonesia (Hindia Belanda) yang saat itu berada dibawah jajahan Belanda sebagai Darus Salam (negara yang damai). Pendapat ini terasa aneh, bagaimana mungkin sebuah jajahan yang dihegemoni orang-orang kafir dinamakan negara salam. Namun, pada tahun 1945 NU jugalah yang pertama kali menggaungkan resolusi Jihad untuk melawan Belanda. Bahkan kekuatan resolusi jihad ini masih diperkuat lagi dengan resolusi Purwokerto tahun 1946 sebagai pembenar fikih bagi jihad perang melawan Belanda.

Pada tahun 1954 NU menghadiahi Soekarno sebagai Waliyyul Amri dharuri bissyaukah, suatu gelar yang mengabsahkan Soekarno secara hukum Islam. Anehnya, NU pulalah melalui resolusi Nuddin Lubis kemudian Resolusi Djamaludin Malik tahun 1966 yang mengusulkan agar kepemimpinan Soekarno segera diakhiri. Pada tahun 1962 NU menyetujui untuk bergabung dengan PKI dalam Nasakom, namun fakta tahun 1965-1966 menunjukkan secara faktual bahwa NU pulalah melalui banser-bansernya yang paling banyak menghabisi kekuatan komunis di Jatim dan Jateng.

Dilihat dari itu semua, seakan-akan NU memang tak konsisten dalam politik. NU terlihat pragmatis, antagonis sekaligus koperatif dalam politik. Namun, dalam kalkulasi politik NU sendiri, hal tersebut sebenarnya merupakan hal biasa sesuai karakternya yang berasal dari keluwesan fikih dan segi kontekstual yang diajarkan Syaikhona Kholil . Bagi NU, kepentingan melihat kedepan merupakan inti dari setiap pergerakan politiknya. Seandainya NU bersikap konfrontatif terhadap Belanda di tahun 1935, NU pasti akan hancur prematur seperti Syarikat Islam. Mau tidak mau NU harus mengakui Belanda untuk sementara waktu. Namun, ketika kesempatan menghancurkan Belanda itu datang, NU tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk berjihad melawan Belanda bukan saja melalui Resolusi dan fatwa Jihad tapi juga pendayagunaan laskar Hizbullah Sabilillahnya. Seandainya NU bersikap kukuh seperti Masyumi dalam kasus PKI, NU pasti juga akan hancur seperti Masyumi karena saat itu PKI dan demokrasi terpimpinnya Soekarno sulit untuk dilawan. Kekuatan politik Islampun akan semakin disingkirkan karena tidak ada representasi Islam di pemerintahan maupun legislatif. Bisa jadi Soekarno akan menunjuk orang atau kelompok lain yang tidak representatif sebagai perwakilan Islam, meski elemen itu tak mewakili kepentingan Islam yang sesungguhnya. Mau tidak mau, NU harus tetap masuk dalam demokrasinya Soekarno demi menjaga aspirasi kaum muslimin yang terancam kepentingan komunis.

Dalam kasus gelar Islam bagi Soekarno, juga dilakukan NU demi kepentingan jangka panjang yaitu menghadang gerakan Islam ekstrim tandingan Soekarno yang mendudukkan Kartosuwiryo sebagai Imam NII. Persoalan siapa imam yang sebenarnya ini dilematis, karena Kartosuwiryo menunjuk dirinya sebagai satu-satunya imam yang sah sementara rezim Soekarno tidak sah karena dianggap tak Islami. Umat Islam Indonesiapun menjadi bingung, siapa pemimpin yang sah di republik ini. Karena itu NU-pun mengesahkan posisi kepemimpinan Soekarno meski statusnya disebut darurat. Pengabsahan Soekarno inipun juga dilakukan bukan saja demi kepentingan politik tapi demi urusan lain seperti sahnya wali hakim dalam pernikahan, karena kalau pemerintahan yang tidak sah secara hukum Islam otomatis perwalian oleh negara bersangkutan bagi calon pengantin perempuan yang tidak memiliki wali nasab akan menjadi batal. Pengabsahan Soekarno berarti menunjukkan pula sahnya pemerintahan yang dipimpinnya.

Semua hal diluar kebiasaan yang dilakukan NU sebenarnya memiliki implikasi sendiri dan itu hanya bisa dilihat di masa depan sesuai ajaran Syaikhona Kholil.Kita dapat menyimpulkan bahwa melihat benar salahnya sebuah persoalan dari sudut kontekstualitas tentu saja hanya bisa dirasakan di masa depan. inilah politiknya Syaikhona Kholil.