Rabu, 06 April 2011

:: Menghidupkan Kembali Gagasan Wisata Kota Tua Kalianget ::


Gagasan wisata kota tua Kalianget yang digagas dinas Pariwisata Sumenep tahun 2009 lalu memang menarik. Gagasan wisata ini menambah jumlah konsep wisata sebelumnya di Sumenep yaitu wisata ziarah, wisata sejarah dan wisata alam. Selama ini Sumenep memang kental dengan wisata ziarah seperti masjid Jami’, makam Asta Tinggi dan makam sejumlah wali di beberapa tempat di Kabupaten Sumenep. Wisata alam pantai Lombang dan Slopeng juga menambah eksotika wisata Sumenep. Lainnya adalah wisata sejarah berupa keraton dan museum Sumenep. Sayang, gagasan wisata kota tua Kalianget makin redup dan tidak bergairah di masyarakat.

Gagasan wisata kota tua menjadi kelengkapan sendiri terhadap wisata sejarah, ziarah dan alam yang selama ini sudah berjalan. Gagasan wisata kota tua, paling tidak menggambarkan betapa luas eksotika Sumenep kontemporer yang berasal dari warisan masa lalu. Gagasan wisata kota tua pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan situs-situs kuno warisan Belanda yaitu kawasan pabrik garam dan sekitarnya serta pelabuhan lama Kalianget. Wisata kota tua Klaianget dari sisi pariwisata memiliki dua daya tawar sekaligus. Pertama, daya tawar kepada turis asing yang menggemari situs-situs kuno bernuansa nostalgia Kolonialisme. Selama ini, memang terdapat kelompok turis Belanda yang menyukai situs klasik warisan leluhurnya masa kolonial dulu seperti misalnya wisata lokomotif kuno Ambarawa yang masih eksis sampai saat ini. Wisata kota tua dapat ditawarkan pada turis kelompok ini. Adapun daya tawar kedua adalah bahwa kota tua dilewati rute wisata ziarah menuju Asta Sayyid Yusuf di pulau Poteran. Konsep wisata kota tua dapat dipadukan dengan konsep wisata ziarah.
Namun, kendala pertama gagasan wisata kota tua Kalianget adalah tidak terintegrasikannya komunitas- komunitas pendukung yang biasanya layak disebut sebagai penghuni kota tua seperti keturunan Arab dan Cina bahkan komunitas Madura sendiri dalam konsep wisata kota tua. Berbeda dengan komunitas Arab dan Cina di Surabaya, kedua komunitas eksotik ini tak begitu menonjol sisi pariwisatanya di Sumenep. Sulitnya integrasi komunitas Arab dan Cina ini bukan saja karena Pecinan dan kampung Arab terletak sepuluh kilometer dari Kalianget atau berada di pusat kota Sumenep, namun juga bahwa kedua komunitas ini cenderung tidak memiliki daya tarik sebagai komunitas wisata. Wilayah Pecinan dan kampung Arab secara substantif tak lagi memiliki eksotisme. Pecinan masa kini lebih mirip kompleks pertokoan yang terjepit dalam kepungan rumah penduduk di pusat kota tanpa tradisi khas Cina yang menonjol. Sementara kampung Arabpun juga lebih mirip perkampungan modern dengan tradisi dan kesenian biasa. Musik gambus, hadrah dan sebagainya sebenarnya adalah hal biasa yang bisa dijumpai dimana saja. Adapun komunitas Madura yang berdomisili di sekitar kawasan kota tua sendiri adalah komunitas Madura modern yang mungkin tak begitu apresiatif terhadap tradisinya. Selain deretan rumah kuno yang dapat ditemui disekitar kawasan kota tua, secara kultural komunitas Madura Kalianget adalah komunitas modern. Tradisi dan kesenian klasik memang ada namun wujud dan geraknya insidental semata.
Karenanya, Dinas Pariwisata dapat menciptakan sebuah perkampungan wisata di dalam kompleks kota tua agar daya tarik bangunan lama dalam kota tua seperti pabrik garam dan segala isinya lebih hidup dan tidak menggambarkan obyek kolonialisme semata. Berbagai kesenian dan tradisi Madura, Cina dan Arab dapat ditampilkan apalagi luas kawasan tersebut hampir 12 hektar. Pemerintah juga dapat mengfungsikan kembali kereta api kuno jenis lori untuk menambah eksotisme klasik yang ingin disampaikan. Letak pabrik garam warisan Belandapun juga menghadap selat Madura. Ini merupakan nilai tambah natural bagi kawasan kota tua. Letak yang hanya sekitar tiga ratus meter dari laut menjadikan keindahan pantai selat Madura merupakan keindahan tersendiri yang menambah bobot keindahan kota tua. Pemerintah dapat menggabungkan keindahan laut ini dengan mengelola kemudian mengkombinasikan secara signifikan guna menambah daya tarik wisata kota tua.
Pemerintahpun wajib merevitalisasi situs lama yang terserak antara kota Sumenep dengan kota Kalianget seperti Benteng Kalimo’ok. Ironis, benteng kuno buatan Belanda tahun 1795 tersebut justru terbengkalai dan sekarang menjadi rumah karantina hewan. Padahal, benteng tersebut merupakan saksi bisu perjalanan kolonialisme di Sumenep. Benteng Kalimo’ok seharusnya diintegrasikan kedalam kawasan kota tua mengingat umurnya yang lebih tua dari situs-situs di kawasan kota tua. Lokasinyapun terletak di tengah perjalanan antara kota Sumenep dengan kota Kalianget.
Konsep wisata kota tuapun akan lebih berdaya guna jika dikombinasikan dengan konsep wisata lainnya terutama wisata ziarah dan wisata sejarah. Apalagi, kuantitas wisatawan lokal lebih banyak daripada wisatawan mancanegara. Meskipun merupakan warisan Belanda, kawasan kota tua dalam waktu dekat masih akan sulit menjaring turis asing. Kombinasi dengan wisata ziarah-sejarah adalah paling tepat, karena paket wisata ziarah-sejarah yang sering dijalankan para wisatawan domestik biasanya dimulai dari makam Asta Tinggi, masjid Jami’, Keraton Sumenep, museum kemudian Asta Sayyid Yusuf di Pulau Poteran. Ketika menyeberang ke pulau Poteran, wisatawan pasti akan melewati dua situs kota tua yaitu pabrik garam dan pelabuhan lama Kalianget. Pemerintah dapat mengintegrasikan wisata kota tua dalam paket wisata ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar